Leles – Ada sebuah kampung adat yang mengajarkan toleransi di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Sejarah kebersamaan agama Islam dan Hindu hidup abadi di sana.
Kampung tersebut bernama Kampung Pulo. Letaknya berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles. Tepatnya, di tengah-tengah kompleks objek wisata Situ Cangkuang yang terkenal.
Disebut Kampung Pulo, karena letaknya yang berada di tengah-tengah pulo, atau danau Situ Cangkuang. Hanya ada 7 bangunan yang ada di tempat ini. Terdiri dari 6 rumah dan 1 masjid. Tak seorang pun berani menambah atau menguranginya.
Perkampungan masyarakat adat ini telah ada sejak zaman dahulu kala. Sejarahnya, berkaitan dengan seorang panglima perang kerajaan Mataram, bernama Arif Muhammad yang dipercayai sebagai salah satu tokoh penyebar agama Islam di kota berjuluk Swiss van Java.
Uniknya, terdapat bukti toleransi yang hidup abadi bersama keramahan masyarakat di Kampung Pulo. Hal tersebut tercermin dari peninggalan situs agama Hindu berupa Candi Cangkuang yang posisinya persis bersebelahan dengan makam Arif Muhammad.
“Beliau menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan, yaitu dengan pendekatan budaya,” ungkap Ketua Paguyuban Masyarakat Adat Kampung Pulo, Zaki Munawar.
Selain bukti toleransi yang tersimpan abadi di sana, ada keunikan tersendiri di Kampung Pulo. Masyarakat masih memegang teguh beragam kepercayaan yang diyakini. Setidaknya ada 5 mitos yang pantang dilakukan di sana. Kelima mitos tersebut adalah berikut ini.
Menabuh Gong Berukuran Besar
Mitos yang pertama adalah larangan untuk menabuh gong berukuran besar berbahan perunggu. Mitos dipercayai berkaitan dengan anak lelaki Arif Muhammad.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, mitos tersebut bermula dari sebuah perayaan acara di Kampung Pulo dahulu kala. Saat itu, terjadi musibah angin kencang yang menewaskan anak lelaki Arif Muhammad.
Saat angin kencang tersebut bertiup, kabarnya kebetulan saat itu tengah ditabuh gong dalam acara tersebut. Sejak saat itu, larangan menabuh gong berlaku hingga saat ini.
Memelihara Hewan Berkaki Empat
Larangan selanjutnya adalah memelihara hewan berkaki empat. Mitos ini juga dipercayai masyarakat adat Kampung Pulo hingga saat ini. Secara logis, pelarangan memelihara hewan berkaki empat, kata Zaki Munawar, lebih didasari karena mata pencaharian masyarakat setempat yang rata-rata bertani pada zaman dulu.
“Jika ada hewan berkaki empat, seperti sapi, domba, dikhawatirkan merusak pertanian warga,” katanya.
Hal lain yang melatarbelakangi kepercayaan ini juga karena banyaknya makam sesepuh Kampung Pulo, termasuk Arif Muhammad di sana. Dikhawatirkan, hewan berkaki empat membawa najis ke makam-makam tersebut.
Sejak dahulu kala, masyarakat adat di Kampung Pulo tidak diperkenankan untuk memelihara hewan berkaki empat, kecuali kucing.
Berziarah di Hari Rabu
Larangan berikutnya adalah, mitos dilarang untuk berziarah pada hari rabu atau malam rabu. Hal tersebut juga masih berlaku sejak zaman dahulu, hingga saat ini.
Konon kabarnya, larangan berziarah di hari rabu itu dilatarbelakangi karena hari rabu merupakan hari terbaik untuk menyembah Dewa Syiwa dalam kepercayaan agama Hindu.
Menambah/Mengurangi Bangunan
Larangan menambah atau mengurangi bangunan yang ada di Kampung Pulo juga masih dijaga dan dipercayai masyarakat adat tersebut. Saat ini, diketahui ada 7 bangunan, terdiri dari 6 rumah dan 1 masjid yang ada di sana.
6 rumah dan satu bangunan masjid tersebut dipercayai sebagai representasi dari anak-anak Arif Muhammad. Yang terdiri dari 6 perempuan dan 1 laki-laki.
Pelarangan menambah atau mengurangi bangunan di Kampung Pulo sendiri dilatarbelakangi hal tersebut. Yaitu untuk tetap menjaga sejarahnya, yang merepresentasikan anak-anak Arif Muhammad.
Anak Lelaki Tidak Boleh Menjadi Pewaris Rumah
Mitos yang terakhir adalah anak lelaki di sana tidak diperkenankan untuk mewarisi rumah. Sejak dahulu kala, kata Zaki, anak lelaki yang sudah menikah, maksimal dalam waktu dua minggu harus angkat kaki dari sana dan merantau.
Rumah yang ditinggalkan nantinya akan diwariskan kepada anak perempuan dalam keluarga tersebut. Jika tidak ada anak perempuan, nantinya anak perempuan dari keluarga saudara yang akan mewarisinya.
Hal tersebut juga didasari untuk menjaga makna dari representasi 6 rumah sebagai cerminan 6 anak Arif Muhammad.
(Abd/Abd)