Leles – Ada sebuah perkampungan warga zaman dahulu (Jadul) yang hingga kini masih eksis di Kabupaten Garut. Perkampungan warga ini, diketahui sudah ada sejak abad ke-17 dan masih lestari hingga kini.
Nama kampungnya, adalah Kampung Pulo. Berlokasi di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Persis berada di area komplek wisata Situ Cangkuang yang terkenal, di lokasi tersebut.
Yang menjadi keunikan dari perkampungan warga ini, diketahui di lokasi tersebut hanya memiliki 7 bangunan. 6 merupakan rumah, dan 1 lainnya mushola. Eksistensi ke-7 bangunan ini, tak lepas dari cerita legendaris tokoh Arif Muhammad. Seorang panglima perang dari Kerajaan Mataram, yang dipercaya di sana.
Umar, Juru Pelihara Kampung Pulo mengatakan, 7 bangunan tersebut merepresentasikan keturunan Arif Muhammad. Yakni 6 orang putri yang digambarkan dengan 6 rumah, serta seorang anak lelaki, yang digambarkan dengan sebuah mushola.
“Hingga saat ini, kepercayaan itu masih kami jaga. Bangunan di sini, tidak boleh ditambah, dikurangi, atau dikosongkan,” ungkap Umar.
Bangunan yang ada, masih berbentuk sama dengan ketika pertama kali didirikan. Rumah-rumah warga di sana, masih otentik dan tak banyak perubahan. Perbedaan yang paling mencolok, adalah pada atap. Rumah kuncen, masih mempertahankan ijuk sebagai atap. Sedangkan warga yang lain menggunakan genting. Hanya itu saja, perbedaannya.
“Itu karena ada penyakit gatal. Karena kan kalau pakai ijuk jadi sarang binatang. Makanya diganti menggunakan genting. Tapi tidak menghilangkan maknanya karena memang tidak ada larangan,” ungkap Umar.
Rumah-rumah warga di Kampung Pulo, terbagi ke dalam 6 bagian. Pertama, adalah serambi muka, atau tepas. Ruangan terbuka yang berada di bagian paling depan rumah itu, biasanya sering digunakan warga, untuk ngariung atau berkumpul dan berinteraksi bersama tamu, atau masyarakat yang lain.
Kemudian ada ruang tengah, atau tengah imah yang biasa dipakai untuk berkumpul, hingga makan bersama-sama, atau botram. Selanjutnya ada ruangan kamar keluarga, atau enggon keluarga. Tapi, bagian yang paling menarik adalah kamar tamu, atau enggon semah. Letaknya, berada di luar rumah dekat tepas.
“Kenapa ruang kamar tamu berada di luar, itu karena supaya ketika tamu ada keperluan di malam hari, tidak mengganggu tuan rumah. Jadi leluasa,” katanya.
Rumah-rumah di Kampung Pulo juga, memiliki dapur seperti rumah pada umumnya. Yang menjadi unik, warga di Kampung Pulo masih menggunakan kayu bakar, atau suluh untuk memasak makanan. Di bagian samping dapur, ada sebuah bangunan kecil bernama goah. Goah atau gudang ini, biasanya digunakan untuk menyimpan hasil tani.
“Selain itu, goah juga dipakai untuk menyimpan benda pusaka peninggalan Arif Muhammad. Di setiap rumah ada. Tapi, hanya bisa dikeluarkan di tanggal 14 Maulid,” ucap Umar.
Kendati masih sarat akan budaya, tapi masyarakat di Kampung Pulo juga mengikuti perkembangan zaman. Hal tersebut, dibuktikan dengan adanya barang-barang elektronik di rumah mereka. Seperti lemari es, televisi, hingga ponsel pintar. Bahkan, saat ini, banyak juga remaja keturunan Kampung Pulo, yang bersekolah hingga meraih gelar sarjana.
“Kenapa demikian, karena tidak ada larangan dari nenek-moyang kami untuk mengikutinya. Jadi, selama tujuannya untuk meningkatkan ilmu dan taraf kehidupan masyarakat Kampung Pulo, itu sah-sah saja untuk dilakukan,” katanya.
Fakta menarik lainnya mengenai Kampung Pulo ini, setiap rumah yang ada, hanya bisa diwariskan kepada anak perempuan dalam keluarga tersebut. Hal itu, kata Umar, merupakan nilai yang diturunkan leluhurnya, untuk menjaga simbol 6 rumah yang ada, adalah representasi dari 6 putri Arif Muhammad.
“Jadi, kalau anak sudah menikah, baik perempuan maupun laki-laki dari Kampung Pulo, harus hijrah ke luar. Nanti, kalau misalkan orang tuanya meninggal, anak perempuan bisa kembali lagi dan mengisi kekosongan. Hanya anak perempuan yang berhak menjadi waris,” ujar Umar.
“Kalau misalkan si anak perempuan ini tidak mau untuk kembali, tidak apa-apa. Yang mengisi, bisa adik atau kakak dari orang tua yang meninggal itu. Dengan catatan, tetap. Yang memegang waris adalah anak perempuan,” katanya menambahkan.
Jendela yang ada di tiap rumah juga, tidak menggunakan kaca. Hanya dibatasi dengan kayu yang disusun menyilang dan ditutup gorden sederhana serta triplek saja. Itu dilakukan agar sirkulasi udara mengalir lancar ke setiap rumah.
(Abd/Abd)